Jumat, 04 November 2011

aksiologi


AKSIOLOGI

A.  PENDAHULUAN
            Dalam pembahasan terdahulu kita telah membahas tentang hakikat apa yang dikaji (ontologi), dan bagaimana cara mendapatkan atau memperoleh ilmu (epistemologi), kini sampailah pada pembahasan aksiologi yang juga termasuk dalam cabang filsafat yang membahas nilai kegunaan dari ilmu-ilmu tersebut.
            Aksiologi mengkaji tentang nilai, dan teori nilai tersebut dibagi menjadi dua yaitu etika dan estetika. Makalah ini akan membahas tentang pengertian aksiologi, nilai, etika dan estetika.

B.  PEMBAHASAN
1. Pengertian Aksiologi
            Secara etimologi aksiologi berasal dari kata “axios” (Yunani) yang berarti “nilai”, dan “logos” yang berarti teori. Jadi secara singkat aksiologi dapat diartikan sebagai teori nilai. Menurut Suriasumantri (dalam ismaliani, 2008: 1), aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
             Jadi, dapat disimpulkan bahwa aksiologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang kegunaan pengetahuan dalam kehidupan manusia yang mengkaji tentang nilai-nilai etika dan estetika.

2. Nilai
            Runes (dalam Sadulloh, 2003:38) mengemukakan beberapa persoalan tentang nilai yang mencakup: hakikat nilai, tipe nilai, kriteria nilai, status metafisika nilai.

2.2.1 Hakikat nilai
      Ada beberapa teori yang berbicara tentang hakikat nilai antara lain:
  1. Teori voluntarisme mengatakan nilai adalah suatu pemuasan terhadap keinginan atau kemauan.
  2. Teori hedonisme beranggapan bahwa hakikat nilai adalah kesenangan atau “pleasure” karena semua kegiatan manusia terarah pada pencapaian kesenangan.
  3. Teori formalisme menyatakan nilai adalah kemauan yang bijaksana yang didasarkan pada akal rasional. Berdasarkan teori ini nilai itu berari sudah berdasarkan pertimbangan baik dan buruknya.
  4. Teori pragmatisme menyatakan bahwa nilai itu baik apabila memenuhi kebutuhan dan memiliki nilai instrumental yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan.
            Menurut Beerling (2003:132) mengatakan bahwa sesuatu tanggapan disebut pertimbangan nilai jika didalamnya orang mengatakan bahwa sesuatu bernilai baik atau keliru diharapkan atau tidak diharapkan, positif atau negative, menguntungkan atau merugikan, indah atau jelek.
      Dari beberapa teori di atas maka dapat disimpulkan bahwa nilai adalah sesuatu yang berharga yang diidamkan setiap insan. Berharga dalam hal ini adalah jika memiliki kegunaan atau manfaat bagi kehidupan manusia. Dengan demikian bila nilai dihubungkan dengan ilmu, maka ilmu dapat dikatakan bernilai karena menghasilkan pengetahuan yang dapat dipercaya kebenarannya, objektif yang terkaji secara kritik.

2.2.2        Tipe nilai
a.       Nilai intrinsik
      Nilai intrinsik merupakan suatu nilai akhir yang menjadi tujuan yang memiliki harkat atau harga dalam dirinya. Contohnya suatu lukisan yang memancarkan keindahannya dimanapun ia diletakkan.
b.      Nilai instrumental
      Adalah sebagai alat untuk mencapai nilai akhir. Sebagai contoh shalat lima waktu yang dikerjakan setiap hari. Nilai instrinsiknya adalah shalat itu merupakan perbuatan luhur dan terpuji, sedangkan nilai instrumentalnya adalah dengan melakukan shalat yang ikhlas dapat mencegah perbuatan keji dan munkar, yang pada akhirnya akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, yang merupakan nilai akhir dari kehidupan manusia.




2.2.3        Kriteria nilai
            Sesuatu yang menjadi ukuran dari nilai tersebut, bisa berupa nilai yang baik atau nilai yang buruk. Bagi kaum hedonisme mereka menemukan ukuran nilai dalam sejumlah kesenangan, sementara bagi kaum pragmatis menemukan ukuran nilai dari “kegunaannya” dalam kehidupan baik individu maupun masyarakat.
            Berdasarkan hakikat nilai yang telah disimpulkan sebelumnya maka kriteria nilai itu dikatakan baik jika memiliki kegunaan atau manfaat dalam kehidupan manusia begitu pun sebaliknya.

2.2.4        Status metafisika nilai
            Yang dimaksud dengan status metafisika nilai adalah bagaimana hubungan nilai-nilai tersebut dengan realitas. Menurut Runes (dalam Sadulloh, 2003: 38) mengemukakan tiga jawabannya, yaitu subjektivisme adalah nilai itu berdiri sendiri, namun bergantung dan berhubungan dengan pengalaman manusia. Secara objektivisme logis, nilai itu sesuatu wujud, suatu kehidupan yang logis, tidak terkait pada kehidupan yang dikenalnya. Secara objektivisme metafisika, nilai adalah sesuatu yang lengkap, objektif, dan merupakan bagian aktif dari realitas metafisik.

3. Karakteristik nilai
            Ada bebeberapa karakteristik yang berkaitan dengan teori nilai, yaitu nilai objektif dan subjektif, nilai absolut dan berubah.

3.1 Nilai objektif dan subjektif.
            Suatu nilai dikatakan objektif apabila nilai tersebut memiliki kebenarannya tanpa memperhatikan pemilihan dan penilaian manusia. Nilai subjektif apabila nilai tersebut memiliki preferensi abadi, dikatakan baik karena dinilai seseorang.

3.2 Nilai absolut dan berubah
Nilai dikatakan absolut atau abadi apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta absah sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapa pun tanpa memperhatikan ras dan kelas social. contohnya nilai kasih saying, ALLAH Maha Pengampun. Nilai dikatakan berubah apabila tergantung dari pengalaman seseorang, dan diuji oleh pengalaman dalam kehidupan masyarakat. Mungkin juga sebagai hasil kreasi akal rasional atau suatu kepercayaan yang kuat sesuai dengan harapan dan keinginan manusia. Sebagai contohnya adalah teknologi.

4. Tingkatan nilai
            Beberapa pandangan yang berkaitan dengan tingkatan nilai.
1.      Kaum idealis                     : nilai spiritual merupakan tingkatan yang lebih tinggi dari material.
2.      Kaum realis                       : nilai rasional dan empiris berada pada tingkatan atas
3.      Kaum pragmatis    : tidak ada kepastian dalam tingkatan nilai, karena menurut kaum ini apabila bisa memuaskan kebutuhan yang penting dan memiliki nilai instrumental maka hal tersebut berada pada tingkat atas.

5. Jenis-jenis nilai
            Aksiologi dalam cabang filsafat dibedakan menjadi etika dan estetika.

5.1 Etika
            Istilah etika berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti adat kebiasaan. Dalam istilah lain etika disebut dengan moral (Yunani) yang berarti kebiasaan. Walaupun antara etika dan moral terdapat perbedaan, tetapi para ahli tidak membedakannya dengan tegas, bahkan secara praktis cenderung untuk memberi arti yang sama. Menurut Salam (2000:6) mengemukakan bahwa etika itu mempelajari tentang pola tingkah laku manusia yang dinilai baik dan buruk. Menurut Sudarsono (2001:188) etika adalah ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami manusia. Nilai-nilai luhur dalam etika  yang bersifat universal antar lain kejujuran, kebaikan, kebenaran, rasa malu, kesucian diri, kasih sayang, hemat dan sederhana.
            Tim dosen UGM mengungkapkan bahwa objek material etika adalah tingkah laku manusia. Perbuatan yang dilakukan secara sadar dan bebas. Objek formal etika adalah kebaikan dan keburukan atau bermoral dan tidak bermoral dari tingkah laku tersebut. Dengan demikian perbuatan yang dilakukan secara tidak sadar dan tidak bebas tidak dapat dikenai penilaian bermoral atau tidak bermoral.
            Walaupun etika mempelajari serta mempersoalkan prilaku manusia, namun berbeda dengan psikologi, antropologi dan sosiologi yang semuanya berhubungan dengan prilaku manusia. Menurut Salam (1997:) letak perbedaannya adalah pada masalah dan fungsinya. Pada psikologi, antropologi and sosiologi fungsinya menjelaskan kepada kita bagaimana manusia bertingkah laku dan mengapa mereka bertingkah laku demikian. Sedangkan pada masalahnya, memberikan kepada kita fakta-fakta dan hukum-hukum tentang masyarakat, tentang tingkah laku manusia sementara etika menilai . Sedangkan etika tidak berhubungan dengan deskripsi dan penjelasan tingkah laku manusia beserta latar belakangnya, melainkan untuk menilai perilaku tersebut. Etika juga tidak bermaksud mengganti ilmu tersebut, dalam usahanya untuk dapat melakukan tugasnya dengan lebih teliti, lebih tepat, dan lebih bijaksana.
            Dapat disimpulkan, karena etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat jika dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan atau nilai-nilai kesusilaan manusia, sementara objek materialnya adalah tingkah laku dan perbuatan manusia yang dilakukan secara sadar, sehingga dapat dikatakan bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma.

5.2 Estetika
            “Estetika adalah mempelajari pola cita rasa yang dinilai indah (estetis) dan jelek” (Salam, 2000). Sedangkan menurut Sadulloh (2003: 41) berpendapat bahwa estetika adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Salah satu pernyataan mengenai estetika dirumuskan oleh Bell dalam Pratiwi (2009:1) “Keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang dalam dirinya sendiri telah memiliki pengalaman sehingga dapat mengenali wujud bermakna dalam satu benda atau karya seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan”
            Persoalan mengenai dasar pengalaman estetis sendiri muncul sejak abad 18 setelah berkembangnya matematika semua pemikir cenderung mencari dasar-dasar yang kuat yang bersifat matematis untuk moral, politik hingga estetika. Pada abad pertengahan pengalamn keindahan dikaitkan dengan pengalaman religi yaitu kebesaran alam ciptaan Tuhan. Pada zaman modern pengalamn keindahan dikaitkan dengan tolak ukur lain seperti fungsi efisiensi yangmemberi kepuasan, berharga bagi dirinya snediri pada cirinya sendiri dan pada tahap kesadaran tertentu. Menurut Thomas Aquino “keindahan berkaitan dengan pengetahuan”. Sesuatu bersifat indah jika menyenangkan mata si pengamat namun disamping itu terdapat penekanan pada pengetahuan bahwa pengalaman keindahan akan bergantung pada pengalaman empirik dari pengamat.          Pertimbangan estetika dari pengolahan rupa setidaknya dapat didekati melalui:
a.                   Pemahaman karya sebagai objek estetik
b.                  Pemahaman terhadap manusia sebagai subjek yang mengamati atau menciptakan karya estetik.

             














TINJAUAN PUSTAKA

Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen, 2003, Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta:Tiara Wacana.
Ismaliani. 2008. Aksiologi (http///Esksiologi/20/C2), diakses 15 September 2010.
Pratiwi, Niken. 2009. Estetika atau keindahan. (http:file//E:/Estetika-atau-keindahan.html, diakses 16 september 2010)
Salam, Burhanuddin. 1997. Logika materil. (Filsafat ilmu pengetahuan). Jakarta: Rineka Cipta
Salam, Burhanuddin. 2000. Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Sadullah, Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung:Alfabeta.
Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat : suatu pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 2003. Filsafat Ilmu: Sebagai dasar     pengembangan Ilmu pengetahuan. Yogyakarta: Liberty

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by FEBRINA BIDASARI